• MA MATHOLIUL ULUM BANJARAGUNG
  • Berilmu, Terampil, dan Berakhlakul Karimah

Hujan yang Menyenangkan (Bagian 1)

Sebuah cerpen dari Salwaa Naura

Seorang anak gadis terlihat sedang menyusuri jalan setapak menuju sawah yang terletak di dekat delta kecil sebuah sungai. Hati-hati gadis itu berjalan menghindari kerikil, sesekali berjalan jinjit di tanah basah, berharap kakinya tidak tergelincir. Langkah kakinya semaki cepat. Namun, langkah kakinya dikalahkan oleh tetesan rinai hujan yang semakin deras mengguyur. Awan tebal menghitam menyelimuti perkampungan kecil di kaki gunung Muria. Cahaya matahari meremang tertutup mendung hitam yang membumbung tinggi di atas pucuk gunung Muria.

Derai hujan semakin deras, membasahi seluruh penjuru. Udara dingin mampu membekukan persendian hingga membuat ngilu. Tubuh gadis itu menggigil kedinginan, tanpa menyerah dia tetap melanjutkan perjalanan menuju sawah Bapaknya. Gadis dengan rambut digulung ke atas itu mengusap matanya yang berlinang air hujan. Pakaiannya basah kuyup. Walaupun merasakan hawa dingin yang memeluk tubuh, dia tetap melangkah tanpa henti. Tangan kanannya menenteng rantang makanan hasil olahan Ibunya.

Gadis desa berwajah manis itu bernama Sasa Ayu Argandhara. Gadis cantik yang berusia 17 tahun itu banyak memikat hati para pemuda di desanya. Dia biasa dipanggil Sasa, Si Kembang Desa Muria. Hidupnya diselimuti kesederhanaan, dia lahir dari keluarga kurang mampu. Nasibnya memang kurang beruntung dalam permasalahan ekonomi. Sasa memiliki tekad kuat, dia ingin kehidupannya lebih baik nantinya.

Sasa masih berlari menembus jutaan rintik hujan yang menetes tiap detiknya. Tanah basah nan becek kadang menghalangi langkah kakinya yang jenjang. Nyiur kelapa hijau melambai-lambai elok di pinggir deretan sawah. Burung-burung kecil masih dilihatnya berterbangan mencari naungan untuk berteduh. Desau semilir angin berhembus dari utara gunung Muria, menyapu lembut wajah manis gadis si pemilik dagu belah. Tampak rimbun hijau padi berayun melenggangkan irama bahagia. Sayup suara aliran sungai terdengar indah di telinganya. Sasa menyunggingkan senyum indahnya, senyum yang mampu melenakan orang ketika melihatnya.

Sasa adalah salah satu dari jutaan manusia yang menyukai hujan. Dia merentangkan tangan, menikmati butir-butir hujan yang menetes pelan di pipi halusnya. Kepalanya mendongak ke atas, matanya terpejam ketika bulir air keberkahan dari Tuhan menyusup masuk bola matanya. Sasa membuka mata, kemudian berjalan sambil loncat-loncat kecil. Perasaan bahagia merasuk ke dalam jiwanya. Senandung kecil keluar dari mulutnya.

Tik...tik...tik
Bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua

 

5 Tahun yang lalu....

"Sasa, ayo main di sawah, main hujan-hujanan! Sudah ditunggu teman-teman di sana," teriak Lia, tetangga samping rumahnya. Sasa segera keluar dari rumahnya yang terlihat sederhana, tapi rumah itu bersih dan nyaman. Sasa membuka pintu kayu rumahnya secara perlahan.

"Tunggu sebentar, Lia. Aku izin orangtua dulu," jawab Sasa. Sasa mempunyai budi luhur kepada siapa saja, termasuk teman-temannya. Orangtuanya menanamkan perilaku bertata krama dan etika sejak Dia masih kecil.

"Nggak usah izin. Nanti malah kamu nggak diizinin,” sahut Via, seorang anak yang sering mengajak temannya untuk melakukan kejelekan.

Sasa merapalkan istighfar berkali-kali sambil mengelus dadanya. Dia terheran-heran dengan Via, mengapa dari 4 temannya, hanya Via yang suka mengajak aneh-aneh.

"Lho kan harus izin ke orangtua. Gimana kalau mereka khawatir? Gimana kalau mereka nyari aku?" kata Sasa. Sasa menjelaskan panjang lebar. Sasa memang sering menasihati teman-temannya.

Setelah terjadi obrolan panjang dengan teman-temannya,Sasa akhirnya izin ke Ibunya yang kebetulan sedang menanak nasi di dapur. Ibunya mengizinkan Sasa bermain hujan, asal setelah itu Sasa harus segera pulang ke rumah untuk mandi dan minum teh hangat supaya badannya tidak masuk angin.

"Iya, Bu. Nanti setelah bermain hujan, Sasa langsung pulang ke rumah," ucap Sasa sambil mencium punggung tangan Ibunya.

Setelah mendapatkan izin, Sasa langsung keluar bersama teman-temannya. Di sawah becek dan penuh lumpur, di sana sudah banyak teman lain yang menunggunya. Ada Nia, Meila, Imah, dan Lala. Mereka menyambut Sasa dengan mata berbinar. Sasa menyapu pandangan ke segala sudut cakrawala. Seketika matanya menangkap 3 wajah teman laki-lakinya yang sering membuatnya kesal. 

"Via, kok ada mereka sih?" keluh Sasa.

"Iya nih. Tadi Wahyu, Ulul, dan Iqbal tiba-tiba datang menyusul kami. Semoga saja mereka nggak ganggu kita."

Lia dan Nia berada di selokan yang dialiri air. 2 anak gadis itu memainkan sebuah botol yang mulut botolnya diikat tali rafia memanjang, lalu botol itu dilemparkan di genangan air selokan. Lia dan Nia melakukan hal tersebut diibaratkan seperti menimba air di dalam sumur. Wajah dua anak gadis itu memancarkan aura bahagia. Padahal mereka hanya melakukan hal sederhana.

Wahyu dan Ulul tertawa terpingkal saat berdiri di tepi sawah yang baru ditanami padi. Sasa mengernyitkan dahi ketika melihat sesuatu yang dipegang keduanya. Benda itu berwarna hijau, bentuknya sedikit memanjang. Ternyata yang mereka pegang adalah tumbuhan padi muda. Kenakalan yang diperbuat mereka, membuat Sasa geleng-geleng kepala.

"Ya Allah Gusti. Ulul, Wahyu, kalian itu ya nggak pernah kapok. Berhentilah berulah. Kalau yang punya sawah tahu perbuatan kalian, bisa-bisa temanmu yang di sini juga ikut dimarahi," kata Sasa dengan kesal.

"Terserah kita, dong!. Bodo amat, ngapain mikirin pemilik sawah ini," balas Wahyu. Wahyu memang menjengkelkan. Di sisi lain, Wahyu pada dasarnya adalah anak yang baik. Namun, dia tiba-tiba bisa menjadi sosok yang menjengkelkan. 

Semua anak perempuan menyoraki Wahyu. Di sana, Wahyu dengan percaya diri memamerkan senyum tak berdosa. Demikian pula dengan Ulul, kedua tangannya diletakkan pada kedua pinggangnya. Tak lupa dia juga membusungkan dada seraya tertawa dengan mimik wajah yang aneh.

"Huuuuuu.. Sukurin, kamu dimarahin Sasa," teriak Meila.

"Kalian diam atau kulempar tanah?" ancam Wahyu sambil menggenggam tanah yang sudah dibentukanya menjadi rupa bulatan. Wahyu mengangkat tangannya, mengambil ancang-ancang bersiap membidik targetnya.

Sejurus kami sigap berlari menjauh. Wahyu, Ulul, dan Iqbal, mengejar satu persatu anak perempuan. Wajah para anak lelaki itu sengaja dibuat sangar agar anak-anak perempuan takut. Bukannya takut, anak-anak perempuan itu malah mengejek dan menertawai. Lemparan demi lemparan tanah lumpur. Suasana menjadi riang diselingi gelak tawa yang membahana ke angkasa. Mereka saling membalas lemparan sehingga tubuh mereka dipenuhi lumpur. Tadinya mereka saling ejek, sekarang kembali berbaikan. 

Hujan mereda, kenangan yang sekilas menyembul di pikiran Sasa pun berhenti. Langkahnya pula berhenti, Sasa sudah sampai di sawah Bapaknya. Samar terlihat dari balik sayunya kabut tipis, seorang lelaki tua sedang beristirahat di dalam gubuk. Sasa menghampiri Bapaknya, menyerahkan rantang di tangannya. Bapaknya mengucapkan terima kasih kemudian mengajak Sasa untuk makan bersama.

Lelaki tua itu memandangi anaknya dengan tatapan hangat dan teduh. "Ya Allah, nduk. Kamu kok bisa basah banget gini. Kenapa kok nggak bawa payung?" kata Bapaknya. Disekanya rambut basah milik Sasa dengan tangan besar penuh keriput itu. 

Sasa merapikan beberapa helai rambut yang mengganggu matanya. Sasa menggeleng pelan kemudian menampilkan senyum manis. "Nggak apa-apa, Pak. Ini kewajibannya Sasa untuk berbakti kepada orangtua. Ini juga sebagai wujud terima kasih dari Sasa karena Bapak sudah berjuang untuk menghidupi Sasa, adik, dan Ibu," kata Sasa. Ada air mata yang mengumpul dan terbendung di sisi mata Bapaknya.

***

Sebatang sungai menghimpit di antara sawah, suara aliran air yang deras riuh di pendengaran. Air sungai yang mulanya berwarna coklat seperti susu coklat, perlahan memudar warnanya berganti jernih. Sang Surya kembali menyinari seluruh desa di gunung Muria. Sinarnya yang hangat memancar ria di seluruh sudut desa. Segerombolan anak laki-laki menapakkan kaki menuju sungai yang membelah desa itu menjadi dua perdusunan. Tampak mereka membawa alat pancing di genggam tangannya. Salah seorang dari gerombolan remaja laki-laki itu melihat Sasa yang sedang berdiri di petak sawah Bapaknya untuk membantu menanam benih padi.

“Sasa!!!,” panggil anak laki-laki seumuran dengan Sasa. Namanya Daffa, cowok berwajah hitam manis dan memiliki rambut hitam pekat yang sedikit bergelombang.

Sasa mengernyitkan kening kala mendengar suara yang memanggil namanya. Sasa mengedarkan pandangannya ke arah sungai di bawahnya. Senyum Sasa mengembang, ternyata yang memanggilnya adalah sahabatnya.

“Iyaa, kamu Dapa kan?” tanya Sasa.

“IYAA, AKU DAPA, SA,” Daffa berteriak kencang dari bawah sana. Dia melambaikan tangan.

“Dapa, kamu ngapain di sana?”

“Aku mau mincing ikan sama teman-teman.”

“Oalah, hati-hati ya, Dapa.”

Teman-teman Daffa yang lain menoleh ke arah sumber suara, mereka melambaikan kedua tangannya kemudian berteriak sekeras mungkin.

“WOI SASAAAA!!!,” Teriak Ulul mengalahkan dahsyatnya suara speaker azan maghrib.

“Iya, ada apa?” Kata Sasa sambil membenarkan letak caping di kepalanya.

“Ayo ikut mincing,” Iqbal mengajak.

“Nggak mau,” Sasa menolak mentah-mentah.

“Kenapa?” Tanya Cuplis.

“Kamu nggak lihat aku sedang apa?” Tangannya memegang pinggangnyam bibirnya dimanyunkan kecil.

“Nggak. Emang sedang apa?” Daffa menimpali.

“Sedang menaruh harapan,” jawab Sasa asal-asalan.

“Sama siapa?” Mereka bertanya serempak.

“KAMU NANYA?” Sasa membalas pertanyaan.

“Aku serius, Sasa,” Keluh Daffa.

“Nggak sama siapa-siapa. Aku tadi cuma bercanda, Dapa. Si Cuplis ngeselin sih, udah tahu aku nggak mau diajak mincing karena aku bantu Bapakku tanam padi. Cuplis pakai tanya lagi,” jelas Sasa.

Di tengah perbincangan, Bapak Sasa menghampiri Sasa. Di belakang ada lima anak remaja perempuan yang berlari mengikuti langkah kaki Bapak Sasa. Mereka seolah berlomba lari menuju Sasa. Sasa tertawa pelan melihat tingkah temannya yang lucu itu. Lia, Nia, Awa, Lala, dan Dewi lari tergopoh-gopoh. Kaki Awa tersendung batu hingga membuatnya terjatuh, kemudian tersungkur ke dalam sawah. Hal tersebut membuat pakaiannya kotor. Wajahnya juga terkena lumpur hingga mengenai rambut bagian bawah bahunya.

 

BERSAMBUNG....

 

 

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Kumpulan Lirik Lagu Wisuda ke-20 Mamuba

Mamuba.sch.id. Wisuda para siswa Madrasah Aliyah Matholiul Ulum Banajaragung dilaksanakan Rabu (17/5) pagi. Dalam acara tersebut terdapat sesi menyanyikan lagu tentang guru dan perpisah

17/05/2023 08:06 - Oleh Administrator - Dilihat 1249 kali
Serangan  1 Maret 1949 dan Perjanjian Roem-Royen (bagian 2. Habis)

Mamuba.sch.id. Serangan umum 1 Maret 1949 membawa arti penting bagi posisi Indonesia di mata internasional. Selain membuktikan eksistensi TNI yang masih kuat, Indonesia memiliki posisi

03/03/2023 14:58 - Oleh Administrator - Dilihat 3426 kali
Hujan yang Menyenangkan (Bag.3)

Wahyu dan Ulul tertawa terpingkal saat berdiri di tepi sawah yang baru ditanami padi. Sasa mengernyitkan dahi ketika melihat sesuatu yang dipegang keduanya. Benda itu berwarna hijau, be

15/02/2023 15:31 - Oleh Administrator - Dilihat 247 kali
Hujan yang Menyenangkan (Bag.2)

5 Tahun yang lalu.... "Sasa, ayo main hujan-hujanan di sawah! Kamu udah ditunggu teman-teman nih," teriak Lia, tetangga samping rumahnya. Sasa segera keluar dari rumahnya yang terlihat

12/02/2023 09:49 - Oleh Administrator - Dilihat 549 kali
Hujan yang Menyenangkan

Cerita Pendek dari Salwaa Naura Seorang anak gadis terlihat sedang menyusuri jalan setapak menuju sawah yang terletak di dekat delta kecil sebuah sungai. Hati-hati gadis itu berjalan m

10/02/2023 11:34 - Oleh Administrator - Dilihat 429 kali
Memoar, Berkenalan & Beradaptasi dengan Organisasi

Mamuba.sch.id. Memoar atau cerita-cerita yang berisi tentang kenangan yang berkesan mirip dengan autobiografi. Setiap orang memilikinya. Sayangnya, tidak banyak yang mau menceritakannya

04/02/2023 11:21 - Oleh Administrator - Dilihat 332 kali
Puisi Salwaa Naura

Udara yang Kita Hirup dan Angan yang Kita Impikan   Sayup kerinduan hinggap di awang-awang Menembus cakrawala yang kian lama menjadi usang Rinai hujan sekejap menghilang Terga

07/01/2023 10:54 - Oleh Administrator - Dilihat 458 kali